RESENSI FILM Jomblo Ngenes: Ngakak Sih, Tapi Setelah Itu...

Wayan Diananto | 13 Januari 2017 | 15:50 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Menonton film ini mengingatkan saya pada ujaran beberapa teman kuliah ketika keluar dari bioskop usai nonton bareng. Jika filmnya lucu dan manis tapi naskah serta akting para pemain biasa banget, mereka berceloteh, “Cerita seperti ini enggak harus muncul di bioskop. Dijadikan FTV aja.”

Selama menonton Jomblo Ngenes, komentar itu tiba-tiba berkelebatan di pikiran. Entah saya kangen teman atau memang kualitas filmnya jauh dari harapan. Saya mencoba bertahan sampai akhir cerita.

Tapi inilah kesimpulan yang saya dapat usai menonton. Jomblo Ngenes lebih mirip FTV di stasiun televisi matahari ketimbang film. Hal ini didasari sejumlah faktor. Pertama, lokasi syuting di Bali. Bukan. Bukan berarti film Indonesia tidak boleh syuting di Bali (karena Pulau Dewata terlalu sering menjadi “rumah” bagi ratusan film televisi).

Saya teringat, ada banyak film ciamik dengan latar belakang Bali dan budayanya yang luhur. Mulai dari era Kabut di Kintamani (Kurnaen Suhardiman, 1972) yang dramatis hingga Rumah Di Seribu Ombak (Erwin Arnada, 2012) dan Single (Raditya Dika, 2015). Mereka memiliki kelas dan tingkat kebagusan masing-masing. Nyaris tidak ada yang komplain dengan tiga judul tadi. Bahkan Single yang diklaim berada di level enteng-menghibur sekali pun.

Sementara Jomblo Ngenes memotret Bali dalam bingkai yang sempit. Losmen, hotel bintang lima, dan pantai. Tidak ada wajah lain Bali yang memberi kita “pencerahan” selain repetisi gambar-gambar di film ini. Ini menyiratkan betapa sempitnya ruang cerita.

Dan memang, cerita filmnya seperti RSSSS alias Rumah Sangat Sederhana Sempit Sekali. Sesederhana saya menulis begini: Jadi, ada cewek frustrasi ditinggal pergi calon suami lalu bertemu dengan laki-laki jomblo yang mohon maaf agak dongo eh ternyata keduanya teman sejak kecil.

Udah gitu aja. Apa pun yang terjadi di antara keduanya dan kalau pun ada tokoh lain yang muncul di antara keduanya, percayalah mereka tidak memberi impact yang besar terhadap kisah ini. Cewek frustrasi itu bernama Astika (Jessica). Calon suami Astika, Nico (Fendy). Sementara cowok yang maaf agak bego itu bernama Noval (Kevin).

Karena ruang ceritanya sempit, ketiga pemain ini tampak kesulitan mengembangkan tokoh yang mereka perankan. Karakter Astika frustrasi. Namun terjelaskankah identitas Astika? Anak siapa dia? Kerja dimana? Kok rumahnya bisa mewah seperti rumah sinetron di era 90-an? Semuanya samar. Semuanya buram. Yang terjelaskan hanya karakter Noval. Nico pun tidak jelas mengapa dia tampan tapi punya motif tertentu terhadap karakter utama.

Dalam Jomblo Ngenes, ada beberapa “permainan” di antara tiga karakter ini. Namun, proses permainan berlangsung cepat. Secepat adegan di sinetron 90-an, ketika A dan B mau berangkat ke mal, dalam hitungan detik keduanya berada di mal menenteng belanjaan. Lalu pemirsah nyeletuk, “Baru juga mau berangkat, eh, sudah sampai di mal dan selesai belanja aja!”

Ada beberapa adegan yang sangat kebetulan bahkan terlalu cepat untuk terjadi. Akhirnya, saya melihat Jomblo Ngenes hanya sebuah lelucon. Nyaris tidak ada humor yang berselera di film ini. Kevin tampil gila. Namun, jika dibandingkan dengan penampilannya di Surga Di Telapak Kaki Ibu, rasanya kurang nendang.

So, inilah Jomblo Ngenes. Diracik dengan guyonan instan, dituturkan dengan instan, serta akting yang juga tak kalah instan. Tapi bukan berarti film ini tidak lucu lo, ya. Tetap lucu. Maka, tertawalah di bioskop. Tapi jangan tanya mengapa setelah keluar bioskop kita tidak merasakan apa-apa lagi.

Pemain: Jessica Mila, Kevin Julio, Fendy Chow, Adjis Doaibu, Gofar Hilman, Vikri Rasta
Produser: Raam Punjabi
Sutradara: Sridhar Jetty
Penulis: Sridhar Jetty
Produksi: MVP Pictures
Durasi: 1 jam, 19 menit

(wyn/ray)

Penulis : Wayan Diananto
Editor : Wayan Diananto