Pencitraan? Makan Tuh Pencitraan!

Wayan Diananto | 18 Februari 2017 | 08:52 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Beberapa minggu yang lalu saya pergi ke toko gawai. Kedatangan saya di toko itu jelang jam tutup toko, 21.30 WIB.

Saya yang gaptek (gagap tekonologi) ini hendak memindahkan data dari ponsel satu ke ponsel yang lain. Staf toko kemudian mengkursus saya. Selama kursus kilat itu, saya dan masnya ditemani playlist lagu-lagu pemenang Grammy. Malam itu, yang dimainkan adalah lagu “Thinking Out Loud”-nya Ed Sheeran. Lalu jarum jam menunjuk pukul 22.00. Dan terjadilah perubahan playlist lagu secara dramatis!

Thinking Out Loud Versus Janda Bodong
Semula kuping saya disuguhi lirik: Cause honey, your soul could never grow old, it's evergreen... And, baby, your smile's forever in my mind and memory. Romantis sekali. Mendengar lirik itu pikiran saya melantur. Membayangkan bintang sinetron yang dulu pernah telanjang di depan saya merayu saya dengan lagu itu. Begitu jam 22 pas, khalayan langsung buyar. Belum tuntas lagu Ed Sheeran dimainkan, langsung diganti lagu lain.

Lagu penggantinya pun tak main-main! Liriknya begini: Suamiku tergila-gila janda muda beranak tua, minta ijin berpoligami, aku tak sudi. Saya syok sekali. Saking syoknya saya langsung bertanya kepada masnya. “Excuse me, ini lagu apa ya?”
“Wah, kurang tahu tuh, Kak. Teman saya yang nyetel,” ujar masnya sambil menunjuk teman yang duduk di sudut toko, sebut saja Budi. Merasa tidak memainkan lagu itu, Budi protes. “Enak aja, si (sebut saja-red) Iwan, tuh. Itu kan lagu favoritnya.”
Dengan lugu Iwan menjawab saya, “Ini lagu judulnya 'Janda Bodong' Pak.” Bayangkan, saya dipanggil Pak! Tapi bukan itu poinnya. Setelah data ponsel berhasil dipindah saya pulang. Dalam perjalanan pulang saya berpikir, apa rasanya ya jadi mas Iwan. Selera musiknya dangdut. Tapi setiap hari selama delapan jam bekerja dipaksa mendengarkan lagu-lagu bule. Mungkin hati mas Iwan menjerit “Lagu-lagu bule ini bukan selera eikeee!”

Saya tidak bermaksud mengatakan selera mas Iwan katrok. Tidak. Dangdut bagi saya musik yang cihuy. Ada beberapa lagu dangdut yang sampai sekarang saya sukai. Misalnya, “Prasangka” (Ine Sinthya), “Pengadilan Cinta” (Leo Waldi), dan “Kunanti Dirimu Di Pintu Surga” (Intan Ali). Liriknya dalam. Dinyanyikan dengan penjiwaan. So, dimana masalahnya?

Yang menjadi masalah adalah salah satu staf toko saat mendengarkan lagu “Janda Bodong” menggoyangkan badan tapi pas kepergok oleh saya, sok cool. Seolah-olah saya tidak melihat dia menikmati alunan melodi. Apa maksudnya, ya? Malu ketahuan kalau suka dangdut padahal ia bekerja di mal kelas atas (yang bersemayam di kawasan diplomatik Jakarta)? Mas, please deh! Pencintraan tidak perlu sampai berpura-pura menjadi orang lain keleus.

Saya Versus Dewi Sandra
Omong-omong soal pencitraan, saya teringat ketika bulan lalu berjumpa manja dengan Mbak Dewi Sandra. Dewi bercerita, ia kini senang belanja sayur ke pasar. Dan kalau sedang buru-buru menuju ke suatu acara sementara jalanan Jakarta “mampet”,  ia naik ojek. Mendengar jawaban itu, saya spontan nyeletuk, “Jeung, dirimu kan ertong (artis-red) masa naik ojek?” 
Mbak Dewi menjawab, “Masalahnya apa? Memang masalah kalau saya naik ojek? Masalah kalau saya pergi ke pasar?” Belum sempat saya menjawab, Mbak Dewi melanjutkan, “Saya pergi ke Pasar Modern Bintaro. Di sana, saya dapat sayuran segar. Penjualnya jago berbahasa Inggris, lo. Dari mereka saya belajar mengenali ciri petai yang benar-benar segar. Masalahnya bukan pada diri saya yang suka ke pasar dan naik ojek. Masalahnya ada pada sudut pandang Anda. Hidup enggak harus glamor, kan?” 
Mendengar jawaban ini, saya malu sekali. Lalu saya berkaca diri sendiri. Mbak Dewi tidak malu ke pasar. Tidak gengsi naik ojek. Sementara saya yang kelas menengah nge*e terlalu menjunjung tinggi gengsi. Saking gengsinya, saya kadang melakukan tindakan tidak penting (kalau tidak mau dibilang bodoh).

Contohnya, beberapa bulan lalu saya menang kuis berhadiah voucher belanja ke sebuah mal di kawasan Blok M, Jakarta. Karena voucher-nya mau kadaluarsa, saya mengajak sahabat (sebut saja Aisyah-red) untuk menemani saya makan malam dan berbelanja di sana. Bodohnya saya, tidak mengecek voucher itu berlaku di gerai mana saja. Saya dengan percaya diri langsung beli beberapa baju. Bencana terjadi ketika saya dan Aisyah berdiri di depan kasir.
Mbak kasir berkata, “Mas, voucher ini logonya gerai X. Jadi, hanya berlaku di gerai X. Bukan di sini.” Saya malu setengah mati. Tapi karena gengsi dan tidak mau dicitrakan sebagai kelas menengah berpendapatan cekak, saya merogoh dompet hendak mengeluarkan jurus pamungkas: kartu kredit. Aisyah membaca gelagat saya yang mau sok kaya. Ia menjawab Mbak Kasir, “Oh maaf, Mbak. Kalau begitu transaksinya dibatalkan saja tidak apa-apa, ya?” Masalah selesai. 

Tegar Septian Versus Ryan Chandra
Jujur, dalam hati saya merasa lega sekali. Dalam perjalanan menuju ke gerai X, Aisyah berbisik, “Tadi kalau gue enggak minta transaksi dibatalkan, kamu mau bayar juga, kan? Wayan... Wayan... kamu itu terlalu menjaga gengsi. Gengsimu kegedean!” Saya hanya diam. 
Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga Aisyah ini. Membatalkan transaksi sebelum struk dicetak sebenarnya bukan kejahatan. Jadi, mengapa mesti malu? Malam itu saya malu dicap miskin. Malu dicap tidak mampu beli. Padahal, belum tentu Mbak Kasir berpikir demikian. Malam itu saya sadar, saya sedang melakukan pencitraan. Pencitraan yang tidak penting! 
Dan kalau pun Mbak Kasir menghakimi kemampuan finansial saya dalam hati, kenapa saya mesti repot memikirkan. Itu urusan Mbak Kasir dengan Yang Di Atas. Jadi tidak usah mati-matian mencitrakan diri kaya dan mampu. Tidak usah sok mengerti lagu Ed Sheeran kalau memang hatinya dangdut ria. Lagipula, musik bahasa universal. Dalam musik, tidak ada pengkastaan. 

Itu saya pelajari dari penyanyi Tegar Septian. Pekan lalu, Tegar dan rekan duetnya, Ryan Chandra datang ke kantor Bintang. Di tengah perbincangan, kami membahas soal penyanyi favorit. Tegar menjawab, “Saya suka Charly Van Houten (vokalis Setia Band).” Sementara Ryan bilang, “Kalau saya suka musik Bruno Mars dan Sam Smith.” Beberapa menit kemudian, mereka berdua menjalani pemotretan. Tegar mendendangkan sebuah lagu pop melayu. Saya tidak tahu judulnya. 
Yang saya tahu karakter vokalnya cocok dengan lagu itu. Ada sedikit sensasi serak saat menjangkau nada-nada tinggi dan itu terdengar asyik sekali. Pun ketika Ryan membawakan “I Love You, Daddy.” Keduanya tidak sedang pencitraan atau berusaha menjadi orang lain. Karenanya itulah mereka bisa tampil menarik. Tidak seperti saya. 

(WAYAN DIANANTO / ray)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait