Konten YouTube yang Nirfaedah dan Asosial

Harry Tjahjono | 4 Agustus 2020 | 08:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Kolom "Rame-Rame Berbohong Demi Konten YouTube yang Mulai Mengganggu", di tabloidbintang.com, Kamis, 30/7/2020, tentu tidak dimaksudkan untuk menggeneralisasi semua kanal artis yang ngetop jadi YouTubers. Sebab, sesungguhnya juga cukup banyak kanal YouTube artis yang layak tonton, menarik dan menghibur. Misalnya kanal Deddy Corbuzier yang subscriber-nya lebih 10 juta orang, Yuni Shara yang subscriber-nya di atas 100 ribu, Roy Marten/Gading Marten dan Mandra yang baru beberapa bulan lalu jadi youtuber dan subscribers-nya masih bilangan puluhan ribu. 

Tapi, kenapa hanya kanal artis yang hijrah jadi YouTuber yang dikritisi? 

Pertanyaan tersebut tidak terkait dengan anggapan bahwa  kehadiran artis di YouTube telah menganulir Youtubers yang lebih dulu berjuang keras untuk bisa eksis.  

Juga tidak sekadar untuk diperbandingkan, meskipun relevan, dengan banyaknya konten kanal YouTubers bukan artis yang jauh lebih sampah dan lebih nirfaedah. 

Kenapa hanya kanal artis sebagai YouTuber doang yang dikritisi, sesungguhnya adalah pertanyaan yang di dalamnya terkandung harapan--barangkali bahkan permohonan. Pasalnya, dibanding Youtubers "biasa", artis yang hijrah di YouTube lebih punya pengalaman, pengetahuan, skill, kompetensi dan profesionalitas untuk membuat konten hiburan dan lain sebagainya. 

Sebagai pelaku dan pekerja seni hiburan yang selama bertahun-tahun mendapat nafkah dan popularitas dari kiprahnya di televisi, artis tentu paham batas kepatutan,  pasti mengerti rambu-rambu baik-buruk dan faedah-nirfaedah suatu pertunjukan hiburan, yang digariskan pihak televisi, production house dan lembaga penyiaran. Selain itu, artis (televisi) tentu juga punya kesadaran bahwa bakat, kemampuan dan profesinya itu mulia oleh karena televisi adalah satu-satunya hiburan yang bisa dinikmati rakyat kebanyakan, yang sebagian besar miskin, secara GRATIS. 

Anehnya, ketika hijrah di YouTube, entah kenapa sejumlah artis menjadi abai pada batas kepatutan, menafikan rambu baik-buruk dan faedah-nirfaedah seni tontonan. Boleh jadi karena batas-batas yang diberlakukan televisi beda dengan YouTube. Atau lantaran UU ITE tidak berlaku pada mereka yang melalui medsos mempermalukan maupun menghinakan dirinya sendiri.

Alhasil, bermodal hak kebebasan berekspresi, kebohongan yang lazim disebut setting-an atau prank dianggap produk kreatif, pola berulang merayakan kemewahan diyakini sebagai kewajaran, mewawancarai narasumber yang mengaku profesor penemu obat Covid-19 adalah hebat, dan  berlahiranlah konten sejenis yang nirfaedah dan bahkan menyesatkan nalar.

Bagi penonton televisi, jika yang ditonton tidak menarik, tinggal pencet remot. Namun, artis dan pekerja seni hiburan tetap dimuliakan penonton oleh karena telah bersusah payah memberikan satu-satunya hiburan gratis kepada rakyat. Tapi, nonton YouTube tidaklah gratis. Harus punya kuota, harus beli pulsa. Alhasil, artis pembuat konten YouTube  sesungguhnya dibayar tunai oleh penonton. Dan itu terjadi di tengah pandemi COVID-19, ketika jutaan anak sekolah harus belajar secara online, dan sebagian besar di antaranya terbebani atau bahkan tak mampu membeli pulsa. Maka tak berlebihan jika menyebut konten YouTube yang nirmanfaat dan muspra pada dasarnya adalah  konten asosial. ***

Harry Tjahjono

Penulis : Harry Tjahjono
Editor: Harry Tjahjono
Berita Terkait