Youtube, Tontonan Fakir Filter

Agung Prihatna | 6 Agustus 2020 | 15:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Di penghujung sore minggu lalu, terdengar jazz dari speaker nirkable di ruang tengah. Karena lagunya enak saya mencari sumber suara. Ternyata diputar dari laptop anak saya. Saya hampiri si sulung yang tengah asyik menonton Youtube. Dari layar terlihat penyanyi muda tampil live di panggung. “Ardhito Pramono pa. Lagi hit dan jadi idola baru utamanya cewek” kata anak saya.Tampak Ardhito menyanyi sambil main piano. Good looking dan berbakat. Pantas jadi idola,  gumam saya dalam hati. 

Namun ada yang tidak biasa dengan gaya panggung penyanyi muda ini. Di tangan kirinya terselip rokok yang sedang menyala. Sesekali ia mengisap di antara jeda nyanyian dan pianonya. Asap disembur sambil menari mengikuti irama musik. Rokok tetap di tangan saat kembali memencet tuts piano. 

Gaya panggung yang bebas semacam ini tidak pernah kita lihat di layar TV. Media penyiaran sudah lama membatasi tayangan untuk tidak menampilkan gambar yang secara sosial dianggap kurang patut. Kalaupun terpaksa ada video “berbahaya”, TV pasti memberi tanda blur. Sensor sangat ketat. Apalagi ada KPI yang selalu siap dengan sempritan jika melanggar.

Penasaran, saya menyusuri video-video Ardhito Pramono di Youtube. Kemudian saya menemukan satu tayangan yang lebih tidak biasa. Ardhito ngobrol ala talkshow dengan Youtuber Gofar Hilman. Dalam tayangan bertajuk “1 Jam Bersama Ardhito Pramono” Gofar mengorek sisi pribadi hingga karir Ardhito. Obrolannya asyik isinya menarik, infomatif  dan inspritatif. Tapi yang di luar kebiasaan sambil ngobrol mereka berdua sesekali meneguk bir Bintang dari botolnya. Saya langsung berpikir, wah ini bagi anak muda style Ardhito dan Gofar itu keren. Saya menduga pula gaya ini akan menjadi tren ke depan. Dugaan itu bukan tanpa alasan selain figur mereka berdua menarik, jumlah penonton video ini tidak sedikit. Lebih dari 3,6 juta yang melihat. kanal Gofar Hilman yang menayangkan subscriber-nya mendekati 1 juta. Efek video ini pasti dasyat. 

Bad boy style yang dipertontonkan Ardhito dan Gofar bisa jadi tuntutan peran karena tayangan semacam ini mendapat atensi tinggi dari audiens. Dari obrolan dengan sulung saya yang saat ini kuliah di tahun kedua, saya mendengar Ardhito semakin populer setelah mengubah style menjadi bad boy. Ia dulunya tampil manis dan sopan. Penonton, terutama remaja putri, justru lebih menyukai tampilan baru Ardhito karena antimainstream: ganteng, klimis tapi sedikit nakal. 

Youtube telah benar-benar membuat orang bebas mengekspresikan sikap dan pandangannya tanpa filter yang ketat. Selama tidak menunjukkan rasisme, pornografi atau hal yang membuat kegaduhan publik, Youtube tidak mencopot tayangan tertentu. Pun demikian KPI, tidak memiliki otoritas menegur dan membatasi sebagaimana jika tayangan tampil di TV. Ada kesan Youtuber merasa boleh menayangkan apa saja meskipun itu secara sosial tidak normal selama tidak menyentuh rasisme atau pornografi. 

Saya tidak sedang dalam posisi mengkritik rokok dan bir. Mengkonsumsi kedua benda tersebut adalah hak asasi setiap orang. Terutama jika dikonsumsi dalam ruang privat. Anak muda dengan bad boy style juga wajar saja. Apalagi jika gaya semacam itu hanya untuk menarik perhatian lawan jenis, it’s ok. Kegusaran saya lebih kepada para Youtuber yang secara sengaja mempertontonkan sesuatu yang berpotensi berpengaruh buruk bagi audiensnya terutama para remaja. 

Perlu diketahui, usia remaja, yang menjadi penonton utama Youtube, berada pada fase awal sosialisasi. Mereka baru memulai mengenal dunia yang lebih luas setelah berada dalam pengawasan ketat orang tua. Dalam proses sosialisasi, remaja mulai mencari idola baru selain orang tuanya. Dulu, salah satu medium yang digunakan mencari panutan adalah media massa. Perkembangan zaman telah membelokkan medium sosialisasi dari media massa ke media sosial. Dulu ketika beranjak remaja, anak akan membeli Majalah Gadis, Majalah Aneka atau Tabloid Bintang untuk mendapatkan informasi tentang sesuatu yang sedang tren. Media ini menjadi sumber pencarian sosok idola bagi anak yang saat ini tergantikan oleh Youtube, Instagram, Facebook atau platform media sosial lainnya.

Remaja menjadi konsumen aktif media sosial karena fungsi sosialisasi. Mereka tidak mau ketinggalan tren. Sosok yang populer menjadi panutan dan trend setter. Remaja berada pada fase mudah meniru life style idolanya. Model rambut, baju, celana dan sepatu selalu ingin sama dengan sosok yang dikaguminya. 

Meniru gaya idola adalah alamiah. Manusia pada dasarnya berprilaku imitatif. Orang selalu berupaya memantaskan dirinya terhadap orang yang diidealkannya. Namun bagi remaja yang diimitasi umumnya adalah hal yang artifisial. Jarang yang berlatih menyanyi atau main musik dengan gigih supaya bisa seperti Ardhito Pramono, atau belajar public speaking agar seperti Gofar Hilman setelah menonton video keduanya. Hal yang paling mungkin ditiru adalah cara Ardhito Pramono menyedot dan menyemburkan asap rokok atau justru cara Gofar Hilman memegang botol dan menenggak bir.

Remaja umumnya sulit menghindar dari sesuatu yang sedang hit. Media sosial memiliki kemampuan yang besar menciptakan tren. Informasi yang diperoleh dari media sosial berguna bagi remaja sebagai dasar kepercayaan diri saat berinteraksi dalam lingkungan sebayanya. Bagi anak muda, agar diterima oleh lingkungan sosialnya, mereka harus ikut berprilaku sesuai tren tindakan teman-temannya. Ngobrol di sofa sambil merokok dan minum bir karena itu keren, kemungkinan akan menjadi style bagi remaja yang mengidolakan Ardhito Pramono atau Gofar Hilman. Apalagi mereka tahu bahwa gaya itu bisa menarik perhatian gadis pujaannya.

Manusia modern cukup rakus mengkonsumsi tanda. Struktur berpikir dan bertindaknya didominasi oleh tanda. Tanda pada suatu benda bisa melebihi fungsinya. Rokok Andhito di panggung bukan sekedar barang untuk memuaskan rasa keinginan untuk mengisap aroma tembakau, tapi rokok itu menjadi pertanda keren. Bir yang ditenggak dari botol oleh Gofar Hilman tidak sekedar untuk mengobati rasa hausnya tetapi menjadi tanda penenggaknya orang yang asyik.

Akumulasi tanda yang terlihat pada idola akan menjadi stereotype. Manusia suka memberi cap pada sesuatu benda atau tindakan. Stereotype menjadi panduan bagi manusia dalam bertindak. Seringkali tanpa disadari prilaku kita sehari-hari diarahkan stereotype pada benda atau tindakan sekitar kita. Lo nggak keren kalo lo nggak ikutan ngerokok. Kalo lo mau dianggap asyik lo minum birnya langsung dari botol. Begitu kira-kira stereotype yang mungkin tercipta dalam benak remaja setelah nonton 1 Jam Bersama Ardhito Pramono. 

Dari 3,6 juta penonton video itu kemungkinan akan sangat banyak remaja yang mulai melekatkan rokok dengan image keren dan menenggak bir dari botol sebagai simbol asyik. Sebagian remaja laki-laki mungkin sudah mulai ada yang mengimitasi merokok dan menenggak bir agar kelihatan keren dan asyik di mata sebayanya dan lawan jenisnya.

Tentu saja tulisan ini tidak sedang menghakimi video Ardhito Pramono dan Gofar Hilman sebagai penyebab remaja merokok dan ngebir. Lingkungan sosial masing-masing anak juga sangat berpengaruh pada tindakannya. Namun image keren dan asyik yang dipertontonkan dalam video itu bisa berkontribusi menambah adrenalin remaja untuk merokok dan ngebir. 

Karena saat ini belum ada lembaga secara khusus yang melakukan pengawasan tayangan Youtube maka diperlukan kesadaran dari Youtuber menjauhi membuat konten yang berpotensi mempengaruhi prilaku buruk terutama di kalangan remaja. Setidaknya ini permintaan pribadi saya sebagai orangtua dengan tiga putra putri beranjak remaja.

(Agung Prihatna adalah peneliti opini publik)

Penulis : Agung Prihatna
Editor: Agung Prihatna
Berita Terkait