Kenapa Abimana Aryasatya Main Banyak Film Tahun Ini?

Ade Irwansyah | 25 Desember 2013 | 23:13 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - APA persamaan Abimana Aryasatya yang seorang aktor itu dengan sepatu Hush Puppies?

Jawaban pendeknya, dua-duanya sudah menemukan "Tipping Point"-nya. Tipping Point, tentu saja, teori yang dikemukakan penulis brilian Malcolm Gladwell di bukunya yang pertama terbit di AS tahun 2000 silam.

Bagi Hush Puppies, demikian Gladwell memulai menjelaskan kisahnya di bukunya, Tipping Point terjadi sekitar akhir 1994 dan awal 1995. Pada waktu itu merek itu terbilang sudah mati. Penjualannya tinggal tersisa 30 ribu pasang per tahun. Produsennya sudah berniat menutup produksi.

Hingga, tiba-tiba, keajaiban terjadi. Pada sebuah acara pembukaan rumah mode, dua eksekutif Hush Puppies--Owen Baxter dan Geoffrey Lewis--bertemu dengan seorang perancang mode dari New York yang dalam perbincangan santai bercerita kepada mereka bahwa Hush Puppies klasik mendadak digandrungi para hipster di klub-klub dan kafe-kafe di kawasan pusat bisnis Manhattan.

Semula Baxter dan Lewis hanya mengira itu cuma gurauan. Hingga sekitar musim gugur 1995, pesanan mulai berdatangan. Para perancang mode menelepon mereka, memesan Hush Puppies untuk pagelaran busana. Di tahun 1995 penjualan jadi 430 ribu pasang. Tahun berikutnya naik empat kali lipat lagi. Tahun 1997 lebih banyak lagi.

Apa yang terjadi? Gladwell berteori, pada mulanya, beberapa remaja, siapapun mereka, sama sekali tak bermaksud mempromosikan Hush Puppies. Mereka mengenakan sepatu itu hanya untuk tampil beda. Namun, entah bagaimana, keisengan ini menular ke remaja-remaja lain sampai akhirnya ada perancang mode memungut tren itu menjadi adi busana.

Kata Gladwell, sepatu itu mencapai titik popularitas tertentu atau dengan kata lain tipping point. Ya, sepatu yang tadinya nyaris dilupakan kemudian menjadi populer kembali dan dipajang di setiap mal di Amerika dalam kurun waktu dua tahun.

Nah, seperti sepatu Hush Puppies, Abimana juga telah menemukan Tipping Point-nya. Momentum yang membuatnya "lahir kembali" dan tenar hingga saat ini.

Tipping Point Abimana terjadi tahun 2011 saat ia membintangi Catatan Harian Si Boy. Bintang utama film tersebut Ario Bayu. Tapi, yang sudah menonton filmnya tentu sepakat Abimana--yang berperan jadi sahabat Satrio (Ario Bayu), Andi--yang menjadi scene stealer di film itu.

Saat profilnya ditulis tabloid ini, Abimana mengibaratkam dirinya produk air mineral kemasan. Jika ditemukan jentik-jentik dalam botol, konsumen tak sudi mengonsumsi produk ini. Kita tahu, Abimana sebelumnya punya nama beken "Robertino". Nah, nama lama itu ibarat produk air mineral yang tercemar. Agar bisa diterima pasar, ia perlu "lahir kembali". Dengan nama baru, kualitas lebih brilian, dan semangat tampil sempurna dari sebelumnya.

Nama itu: Abimana Aryasatya.

Mengganti nama beken rupanya trik jitu bagi Abimana. Ia menjadi sosok yang baru. Namanya yang dulu, Robertino, kini mungkin hanya samar-samar diingat orang.

Selepas mencuri perhatian di Catatan Harian Si Boy, Abimana langsung laris diajak main film. Tercatat tahun 2012 ia main tiga film (Keumala, Republik Twitter, dan Dilema). Dan tahun ini wajahnya muncul di enam film: Sang Pialang, Belenggu, Coboy Junior: The Movie, Isyarat99 Cahaya di Langit Eropa, dan Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor.

Yang menjadi pertanyaan sebetulnya bukan bagaimana Abimana bisa meraih Tipping Point-nya. Pertanyaan yang saya ajukan sederhana saja, kenapa produser dan/atau sutradara memberi kesempatan Abimana di film-film yang mereka garap?

Jawaban atas pertanyaan itu saya anggap menunjukkan perilaku industri perfilman kita.

***

Anda tentu belum lupa pada sosok Tora Sudiro. Hingga akhir 2010-an, Tora rasanya aktor paling laris. Di setiap film Indonesia rasanya selalu muncul wajah Tora. Saat popularitasnya di puncak, Tora juga bisa main lima film setahun. Mengecek filmografinya, hal itu terjadi tahun 2008 dan 2009.

Tipping Point Tora terjadi usai ia berakting di Arisan! (2003) karya Nia Dinata. Arisan! tipe film ensamble acting yang karena punya beberapa plot pemain-pemainnya saling mempertunjukkan kualitas akting masing-masing. Meski film itu punya Cut Mini, Rachel Maryam, Surya Saputra dll, publik lebih tercuri perhatiannya pada Tora Sudiro si pendatang baru kala itu.

Hal yang sama juga terjadi pada Lukman Sardi. Tipping Point-nya adalah ketika ia berakting di Gie (2004) karya Riri Riza, sebagai Herman Lantang sahabat sang tokoh utama, Soe Hok Gie (Nicholas Saputra). Orang sudah kenal dengan Nico lewat Ada Apa dengan Cinta? (2002). Maka, yang mencuri perhatian orang kala itu adalah Lukman yang berakting prima meski bukan pemeran utama.

Contoh lain adalah Reza Rahadian. Yang setelah main sinetron dan berakting di film-film "sampah" seperti Film Horor (2007) atau Pulau Hantu 2 (2008) berhasil menunjukkan bakat aktingnya di film Perempuan Berkalung Sorban (2009) dan Emak Ingin Naik Haji (2009).

***

Bisakah Anda menemukan satu kesamaan antara Abimana, Tora, Lukman, dan Reza di atas? Well, jika ditelisik, Tipping Point-nya, alias titik balik karier mereka semua berawal dari menjadi "pencuri perhatian" di sebuah film penting.

Apakah film "penting" itu? Rumusannya sangat subjektif. Film penting berarti bukan film kacangan yang dibuat ala kadarnya semisal film horor murahan atau film horor dicampur bumbu seks yang juga murahan. Film penting berarti bukan film sampah.

Film penting mungkin dari sisi komersil tak laku.Tapi, film penting ditonton orang-orang yang berkepentingan. Dan hal itu yang penting. Film penting biasanya diapresiasi oleh media, ditonton dan dibicarakan oleh kaum yang lebih berpendidikan. Film penting juga, terutama ditonton oleh produser dan sutradara lain.

Jadi, beruntunglah orang-orang yang telah mencuri perhatian di sebuah film penting. Sebab dari situ tawaran main film lain otomatis berdatangan. Di tahun berikut si aktor/si aktris bakal memenuhi layar main sampai lima film.

***

Well, main di film penting hanya menjawab setengah rasa penasaran. Yang belum sepenuhnya terjawab, kenapa seseorang bisa diajak main film begitu banyak oleh sineas-sineas lain?

Nah, menurut saya, pada titik ini kemudian kita bertemu dengan situasi yang khas.

Saya bertanya pada seorang kawan, kenapa Abimana main begitu banyak film tahun ini? Sang kawan pun bilang, ia sebetulnya juga heran. Dari segi ketampanan ataupun kualitas akting, masih lebih banyak yang lebih tampan dan aktingnya lebih bagus darinya. "Saya pikir sih karena manajemennya pintar pilih-pilih film," katanya.

Hm, berarti balik ke pilihan memilih film penting tadi. Semakin sering seorang aktor/aktris bermain di film penting, semakin banyak ia akan dapat tawaran film di masa depan. Itu mungkin menjelaskan kenapa Lukman Sardi terus main banyak film, sedangkan Tora Sudiro kini hanya main segelintir film. Lukman lebih sering main film yang dianggap penting, sedang Tora tidak.

Itu dari segi si aktor dan manajemennya. Bagaimana dari sisi produser dan/atau sutradara? Apa pertimbangan sineas mengajak si A main film melulu dan bukan si B?

Jawabnya, sineas berpikir pragmatis saja ketika memilih seseorang ikut main di proyek film yang sedang mereka kerjakan. Mereka tak mau ambil risiko dengan aktor/aktris yang kualitasnya belum teruji di layar.

Sebetulnya, kini pilihan produser/sutradara memilih aktor/aktris bermain di film bukan lagi lantaran aktor A dan aktris b jaminan filmnya laris. Penonton zaman sekarang menonton film bukan karena gandrung aktor A atau aktris B. Film-film super laris kita, dari AAdC?, Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi hingga Habibie & Ainun dan 5 Cm.--utamanya bukan ditonton karena aktor dan aktrisnya punya fan base penggemar yang bejibun. Melainkan, mula-mula memang cerita dan penggarapannya memikat.

Nah, demi mendapat penggarapan yang baik diperlukan aktor dan aktris yang lancar berakting. Sineas bisa saja berjudi dengan memasang aktor baru sambil berharap dia menjadi pusat perhatian. Tapi rupanya lebih banyak yang tak mau ambil risiko, mempercayakan pada aktor/aktris yang sudah memperlihatkan bakat akting mumpuni di film-film sebelumnya.

***

Demikian saya rasa, kenapa Abimana main banyak film tahun ini. Kita tinggal melihat nasibnya kelak, apakah seperti Lukman Sardi atau Tora Sudiro.***

PEMBETULAN: Terdapat kesalahan data pada artikel ini sebelumnya. Pembetulan dilakukan Kamis (26/12/2013) pukul 10.24 WIB dan Jumat (27/12/2013) pukul 10.24 WIB.

(ade/ade)

Penulis : Ade Irwansyah
Editor: Ade Irwansyah
Berita Terkait