Noslatgia Sejarah Ternate, Pintu Gerbang Jalur Rempah Nusantara 

Ari Kurniawan | 22 Juli 2019 | 10:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Sultan Baabullah, Ternate, sekitar pukul 8.00 WIT. Cuaca yang sangat bersahabat menyambut, membuat suasana hati tetap terjaga usai perjalanan udara 3 jam 35 menit dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten. 

Tiga minibus yang dikemudikan warga lokal menjemput rombongan kami pagi hari itu. Mobil dipacu dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan utama Kota Ternate yang terlihat rapi dan bersih. Tak terlalu banyak kendaraan lalu lalang. 

Rumah makan Al-Hikmah, di Jalan Nasution, menjadi tujuan pertama kami. Rumah makan yang didominasi cat putih dan hijau itu menyediakan menu utama nasi kuning. Nasi kuning bisa dengan mudah dijumpai di kota-kota lain di Indonesia, terutama di Jawa. Tapi, nasi kuning di sini menawarkan sejumlah lauk tambahan yang khas. Salah satunya nasi kuning ikang telur. Gurih nasi kuning disempurnakan dengan lembutnya potongan ikan tongkol dan sebutir telur rebus.

Perut sudah terisi. Tanpa membuang waktu lama, rombongan bergegas menuju destinasi wisata Cengkeh Afo, yang berada di kaki gunung Gamalama. Kata “Afo” berasal dari Bahasa Ternate yang berarti “tua”. Di lokasi tersebut, terdapat tiga pohon cengkeh yang diprediksi usianya mencapai 200 dan 416 tahun. Hanya saja, pohon cengkeh yang berusia 416 tahun sudah mati pada awal 2000.

Mesin mobil meraung. Butuh skill mengemudi di atas rata-rata untuk menaklukkan tanjakan demi tanjakan curam menuju lokasi. Dari jalan beraspal, kami masih harus berjalan kaki menyusuri jalur setapak yang licin dan menanjak. 

Pemuda asli Ternate bernama Didit Prahara mendampingi kami dalam perjalanan. Bukan sembarangan pemandu wisata, Didit merupakan tamatan S2 jurusan Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Selain menjabat ketua Ternate Herotage Society (THS), saat ini ia juga tercatat sebagai dosen tetap di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate. Jangan heran kalau ia begitu fasih menjelaskan sejarah, mulai dari proses kedatangan Postugis, hingga latar berdirinya benteng-benteng kokoh di beberapa sudut Kota Ternate. 

"Kenapa di pulau yang sangat kecil seperti Ternate ada begitu banyak benteng? Tentu ada sesuatu yang sangat berharga yang ingin dilindungi oleh bangsa Portugis, Belanda, maupun Spanyol di pulau ini. Jawabannya adalah rempah, terutama cengkeh" Didit memberi penjelasan kepada kami. 

Cengkeh memang menjadi menjadi daya tarik utama Portugis saat pertama kali menemukan rute Maluku pada abad ke-15. Cengkeh juga yang kemudian mengundang minat bangsa Eropa lainnya, seperti Spanyol dan Belanda, untuk datang dan saling bersaing untuk menguasai wilayah di jalur rempah.

Fasilitas penunjang, seperti tempat istirahat yang nyaman dan toilet yang bersih, membuat kawasan Cengkeh Afo cukup ramah bagi wisatawan. Termasuk bagi mereka yang gemar berswafoto. Ada banyak sudut menarik yang bisa dijadikan latar foto. Pesan kami, jangan sampai melewatkan nikmatnya teh dan kopi rempah buat warga sekitar. 

Bicara soal cengkeh, tentu tak lepas dari sejarah panjang Kota Ternate. Sejarah itu yang coba kami susuri dari bangunan-bangunan peninggalan Postugis maupun Belanda, yang sebagian besar di antaranya masih cukup terawat. Banteng Oranye, salah satunya. 

Benteng Oranye dibangun pada tahun 1607 oleh seorang Laksamana VOC bernama Cornelis Matelieff de Jonge untuk menggantikan keberadaan Benteng Malayo milik kesultanan Ternate yang dihancurkan oleh Spanyol. Konon, benteng ini dibangun sebagai bentuk terimakasih Sultan Ternate atas kerjasama Belanda dalam mengusir bangsa Spanyol dari Ternate. Benteng ini merupakan benteng penting yang dimiliki Belanda di awal kekuasaan mereka di Nusantara.

Di beberapa sudut tembok, bisa dilihat beberapa meriam asli yang dipakai Belanda untuk menghalau musuh, khususnya Spanyol dan Portugis. Di lantai bawah, masih tampak deretan ruangan yang dulu difungsikan sebagai penjara dan kantor satuan pengamanan VOC. Salah satu bangunan yang tampak masih layak pakai adalah bekas kantor Gubernur Hindia Belanda di bagian dalam tembok benteng dan kini beralih fungsi sebagai kantor Dinas Pariwisata sekaligus Museum Rempah Ternate.

Rasanya tak cukup waktu seharian penuh untuk menyusuri Pulau Ternate, yang luasnya hanya sekitar 111,4 kilometer persegi. Setiap sudut kota mengandung cerita masa lampau tentang masa keemasan industri rempah Nusantara hingga berbagai peristiwa pilu yang ada di dalamnya. 

Memperkuat Visi Kemaritiman Indonesia Lewat SRCI

Spice Route Connexion Indonesia (SRCI) adalah sebuah rangkaian program yang dirancang untuk memperkuat visi kemaritiman Indonesia. Program ini merupakan inisiatif bersama antara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman didukung Yayasan Negeri Rempah.

Bertajuk Jejaring Kemaritiman Jalur Rempah Menuju Warisan Dunia, SRCI jadi sarana untuk memperkenalkan kembali peranan penting Indonesia dalam perkembangan peradaban dunia melalui Jalur Rempah, baik melalui praktik perdagangan maupun penyebaran pengetahuan dan kebudayaan, dalam skala global.

Menilik sejarah, Nusantara memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan 'negerinegeri di atas angin', yaitu Tiongkok, India, Timur Tengah, hingga Eropa. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia: rempah-rempah.

Diperkirakan, dalam perjalanan waktu dan pada skala dunia, 400-500 spesies tanaman telah dipergunakan dan dikenal sebagai rempah. Di Asia Tenggara sendiri, jumlahnya mendekati 275 spesies (Prosea, 1999).

“Jadi, bayangkan saja. Ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai komoditas, rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa dan aroma yang  dipergunakan sebagai bumbu masak, penawar racun dan obat, bahkan sampai bahan pengawet,” jelas Bram Kushardjanto dari Yayasan Negeri Rempah.

Dengan peran sepenting itu, rempah-rempah menjadi komoditas utama yang mampu mempengaruhi kondisi politik, ekonomi maupun sosial budaya dalam skala global. Para raja mengirim ekspedisi mengarungi samudera untuk mencarinya; pedagang mempertaruhkan nyawa dan kekayaannya; perang demi perang memperebutkannya; dunia bergolak dan sejarah peradaban manusia berubah.

Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun.

Sebagai akibat dari lalu lintas laut yang padat ke Asia Timur, Timur Tengah, Eropa dan sebaliknya, banyak peradaban berinteraksi; bertukar pengetahuan, pengalaman, dan budaya. Ia menjelma sebagai ruang silaturahmi antar manusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antar budaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan dan praksis, melampaui konteks ruang dan waktu – dipertemukan oleh laut dan samudera.

Warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global ini menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji dan dimaknai kembali.

“Apalagi ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok, maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting,” jelas Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri RI periode 2001 -2009 yang saat ini juga duduk sebagai ketua dewan pembina Yayasan Negeri Rempah.

“Dalam konteks yang lebih strategis, program Spice Route Connexion ini mempersiapkan pengajuan Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia (World Heritage) ke UNESCO,” ujar Tukul Rameyo Adi, Staf Ahli Menteri Sosio-Antropologi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Peran aktif masyarakat dirasa penting untuk dapat memperkuat upaya membawa Jalur Rempah sebagai warisan dunia. Salah satunya adalah tumbuhnya kesadaran untuk mengenal sejarah dan budaya negeri sendiri yang sangat bhinneka, sebagai warisan dari jejaring antarbudaya yang terjadi akibat jalur rempah dari masa ke masa. Untuk itu, serangkaian program dirancang untuk dapat menginspirasi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam memberdayakan potensi jalur rempah, baik untuk mempromosikannya sebagai warisan budaya dunia maupun turut memberdayakan komoditas rempah sebagai kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.

Rangkaian program SRCI terdiri dari diskusi publik, pemberdayaan komunitas hingga pengembangan wisata berkelanjutan ke Belitung (29 Juni - 1 Juli), Ternate-Tidore, Maluku Utara (17-19 Juli), Bulukumba, Sulawesi Selatan (September) dan Baubau, Sulawesi Tenggara (November). 

Hingga akhir 2019 ini, SRCI akan menjadi forum pertukaran pengetahuan dan pemahaman antarbudaya sehingga masyarakat luas dapat turut merayakan kesamaan maupun perbedaan budaya melalui program-program yang memungkinkan partisipasi publik. Mulai dari diskusi ilmiah, bedah buku, talkshow mengenai rempah-rempah, hingga berwisata ke “Negeri Rempah”.

Perhelatan ini pun melibatkan relawan dari berbagai komunitas dengan latar belakang beragam. Mulai dari peranserta media, akademisi, peneliti, mahasiswa, eksekutif, hingga para ibu dan keluarganya. Semangat untuk saling berbagi yang tumbuh dari komunitas dan para relawan ini digawangi oleh Yayasan Negeri Rempah yang memiliki perhatian khusus pada pembelajaran publik agar lebih mengenal keberagaman Indonesia. 

(ari)

Penulis : Ari Kurniawan
Editor: Ari Kurniawan
Berita Terkait