Membangun Bali Kembali

Andre Notohamijoyo *) | 17 Agustus 2021 | 23:03 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Di saat berbagai daerah mulai menggeliat perekonomiannya pasca pandemi Covid-19, kondisi Bali belum kunjung membaik. Sebagai daerah yang perekonomiannya sebagian besar tergantung dari pariwisata, Bali terpukul telak akibat pandemi Covid-19.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah baik Pusat maupun Daerah untuk memulihkan sektor pariwisata di Bali, namun upaya tersebut belum mampu mendongkrak perekonomian Propinsi tersebut. 

Program terbaru digagas oleh Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) yaitu Work From Bali (WFB). Seluruh Kementerian/Lembaga di bawah koordinasi Kemenko Marves didorong untuk melaksanakan kegiatan resmi atau berkantor di Bali yaitu Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, KKP, Kemenparekraf, Kementerian PUPR, Kementerian LHK dan Kementerian Investasi. 

Semangat di balik program tersebut adalah membantu pemulihan ekonomi Bali. Meskipun demikian harus dipertimbangkan kembali bahwa program tersebut hanya bersifat sementara dan tidak efektif dalam mendorong pemulihan ekonomi yang berkelanjutan di Pulau Dewata. Bahkan kehadiran berbagai K/L beresiko menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. 

Pembatalan acara Musyawarah Kamar Dagang dan Industri (KADIN) di Bali pada bulan Juni 2021 lalu merupakan sebuah contoh nyata adanya kekhawatiran terhadap timbulnya resiko klaster baru. Upaya Pemerintah untuk membuka kembali Bali sebagai tujuan wisata dapat menemui masalah baru yang lebih serius. 

Sejak 3-20 Juli 2021 dan kemudian diperpanjang 2 kali dan terakhir diperpanjang hingga 23 Agustus 2021, Pemerintah menetapkan penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. PPKM Darurat meliputi pembatasan-pembatasan aktivitas masyarakat yang lebih ketat dan diberlakukan pada kabupaten/kota di Jawa dan Bali.

Hal tersebut dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19 yang terus melesat. Terlebih Indonesia saat ini masuk dalam daftar red notice berbagai negara karena dipandang berbahaya untuk dikunjungi akibat penyebaran Covid-19. Kondisi ini semakin menyulitkan pemulihan Bali. 

Pandemi Covid-19 seharusnya dapat menjadi momentum revitalisasi Bali secara keseluruhan. Selama ini perekonomian Bali terlalu bertumpu pada sektor pariwisata. Pembangunan sektor pariwisata yang terlalu gencar justru berdampak serius bagi daya dukung dan kelestarian lingkungan di Bali.

Masalah ketersediaan air, pencemaran sungai, danau, laut dan wilayah pesisir, penurunan muka air tanah, abrasi, erosi dan sebagainya menjadi masalah serius yang tidak dapat diabaikan. Bali juga merupakan salah satu wilayah perairan laut yang tercemar sampah plastik sebagaimana temuan dari LIPI tahun 2020.

Bali harus kembali kepada ekonomi dasar yaitu Pangan (Food), Energi (Energy) dan Air (Water) atau FEW. Pengembangan sektor seperti pertanian, perikanan dan perkebunan yang selama ini cenderung terabaikan harus kembali dibenahi. 

Saat ini Subak sebagai sistem pengairan pertanian khas Bali menghadapi ancaman menyusutnya lahan pertanian setiap tahunnya akibat pembangunan kawasan pariwisata yang tidak terkontrol. Padahal Subak tidak hanya merupakan sistem irigasi tradisional yang unik, namun juga tradisi sosial gotong royong yang patut menjadi rujukan. 

Subak merupakan refleksi dari filosofi masyarakat Bali Tri Hita Karana yang menggambarkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam atau lingkungannya. Subak merupakan simbol hubungan harmonis masyarakat dengan ketahanan pangan dan kelestarian alam lebih dari seribu tahun. Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia bidang Cultural Landscape oleh UNESCO pada 29 Juni 2012. 

Okupansi lahan pertanian oleh industri pariwisata menyebabkan Bali tidak dapat mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat terhadap beras beserta tanaman pangan lainnya. Pandemi Covid-19 menimbulkan bahaya ketahanan pangan di seluruh dunia. Penyebaran Covid-19 menyebabkan seluruh negara mempertahankan pasokan pangan dengan mengendalikan ekspornya. Ini menjadi lonceng bahaya bagi Indonesia karena beberapa komoditas pangan didapatkan melalui impor dari negara lain. Berbagai propinsi termasuk Bali harus menghitung kebutuhan pasokan pangan di daerahnya untuk mengantisipasi dampak berkepanjangan akibat pandemi. 

Bali harus mulai melakukan revitalisasi terhadap FEW yang selama ini mulai terlupakan dan kembali pada kearifan lokal dan keanekaragaman hayati yang dimiliki. Salah satu contoh yang bagus adalah Kabupaten Tabanan yang mengembangkan program model bisnis pertanian yang terintegrasi dan menjunjung kearifan lokal. 

Kabupaten tersebut dapat membangun ketahanan pangan dengan surplus produksi beras dan buah-buahan lokal. Kondisi tersebut membuat ekonomi lokal di Tabanan bergerak dengan baik. Pemerintah Tabanan juga aktif menggerakkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Upaya tersebut sangat tepat karena menggerakkan berbagai desa di Tabanan untuk memproduksi produk lokal unggulan yang berbasis pada pertanian. 

BUMDes tersebut juga bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Tabanan yaitu Dharma Santika. BUMD tersebut membantu proses pemasaran produk-produk lokal yang diproduksi oleh BUMDes. Produk seperti beras, kopi, red ginger instan dan sebagainya dipasarkan hingga ke pasar internasional. 

Kabupaten Tabanan juga aktif mendorong upaya menciptakan ketahanan pangan keluarga secara mandiri melalui pemanfaatan lahan pekarangan, salah satunya melalui budidaya ikan lele. Lele (Clarias batrachus) merupakan ikan air tawar paling favorit dikonsumsi masyarakat dan bermanfaat bagi kesehatan karena memiliki kandungan albumin yang sangat tinggi. Albumin memiliki fungsi sangat penting untuk menjaga asupan protein dan memperbaiki kerusakan jaringan sel dalam tubuh. Di saat pandemi seperti saat ini budidaya lele sangat efektif membangun ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat lokal.

Bali juga kaya akan rumput laut (seaweeds). Nusa Penida yang selama ini menjadi tujuan pariwisata eksklusif di Bali juga memiliki kekayaan rumput laut spesies Euchema Cottoni yang dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik dan pakan. Di saat pandemi seperti sekarang, banyak warga yang mulai beralih ke budidaya rumput laut di Nusa Penida (Notohamijoyo: 2020). 

Di sinilah momentum bagi Bali untuk kembali kepada tiga aspek ekonomi dasar Pangan, Energi dan Air. Membangun Bali baru yang bertumpu pada ketiga aspek tersebut adalah sebuah keniscayaan. Lagu “Kembalikan Baliku” ciptaan Guruh Soekarnoputra yang dahulu populer dinyanyikan oleh Yopie Latul sangat tepat mengiringi kembalinya Bali pada ekonomi dasar tersebut. Bali harus kembali kepada keaslian dan keasriannya.

***

*) Penulis adalah Pemerhati Pariwisata, Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia

Penulis : Andre Notohamijoyo *)
Editor: Andre Notohamijoyo *)
Berita Terkait